Suasana camp mulai terasa ramai karena mendekati perayaan tujuh belasan. Biasanya jika tiba perayaan tujuh belasan maka warga kampung berbaur dengan karyawan campku dan perusahaan kayu di dekat sini untuk melaksanakan berbagai pertandingan.
Aku ikut bertanding dalam beberapa cabang olahraga. Hanya sekedar untuk memeriahkan dan bersenang-senang saja. Sore itu aku baru menyelesaikan satu partai tenis meja. Untuk pertandingan tenis meja dilakukan di dalam ruangan kantor agar tidak terganggu oleh tiupan angin. Meja-meja yang ada cukup ditumpuk di pinggir. Aku kalah straight set, 15-21 dan 10-21. Cukup lumayan setelah lima tahun lebih tidak pernah bermain. Kubuka bajuku dan dengan bertelanjang dada aku menyaksikan partai berikutnya.
Kulihat Lisa juga ada di antara para penonton. Dengan beringsut perlahan-lahan ia berpindah di dekatku. Ia mengenakan baju hitam tipis tanpa kancing dan lengan dipadu celana panjang strecth warna pastel. Bayangan BH-nya yang berwarna putih samar-samar kulihat di balik baju hitamnya yang tipis.
"Hebat juga Bapak kita ini. Mau ikut maju untuk pertandingan kelas kampung," komentarnya.
"Ah, Cuma sekedar berpartisipasi saja kok," kataku.
"Bapaknya mana, beberapa hari ini kok nggak kelihatan?"
Terakhir aku melihatnya seminggu yang lalu ketika mengambil uang muka pekerjaan borongan.
"Lagi ke kota. Beli beberapa peralatan untuk tenaga kerja. Ryan juga ikut. Ijin tidak masuk sekolah beberapa hari".
Entah apa maksudnya mengatakan kalau ia sendirian di rumah. Apakah ini sebuah undangan lagi?
"Kapan pulangnya?" tanyaku meyakinkan.
"Mungkin nanti malam menjelang dinihari. Biasanya kapal dari hilir masuk ke sini antara jam dua belas sampai jam tiga dinihari".
Lisa menatapku dengan sorot mata kagum. Badanku cukup besar meskipun tidak kekar. Mungkin ia kagum dengan bulu dadaku yang cukup lebat ini. Karena sudah sore dan keringatku sudah tuntas aku pulang ke mess dan berniat untuk mandi. Lisa mengikuti beberapa langkah di belakangku dan ketika aku sampai di depan mess Lisa memanggilku.
"Ssstt.. Pak, Pak Anto," bisiknya. Aku menoleh. Ia memberikan kode dengan mulutnya agar aku ke rumahnya sekarang. Aku masuk ke dalam kamar, berganti dengan celana pendek dan kaus lalu ke kamar mandi. Kulihat Lisa sudah menunggu di depan rumahnya. Ia melambaikan tangan dan memberikan isyarat agar aku masuk ke rumahnya lewat pintu belakang.
Kutimbang-timbang dan kali ini kurasa keadaan di dalam rumahnya cukup aman. Tinggal berusaha agar tidak ketahuan karyawan camp. Kubuka pintu belakang mess dengan pelan. Dengan mengendap-endap aku berjalan ke arah belakang rumahnya. Ia sudah menunggu di pintu belakang rumahnya. Dengan cepat aku menyelinap masuk ke ruang tamunya.
"Duduk dulu To," ia menyuruhku duduk di kursi tamu. Ia sudah mulai memanggilku tanpa sebuta.
"Pak".
Aku duduk di atas sofa ruang tamunya. Debaran jantungku terasa kencang, perpaduan antara nafsu dan perasaan takut ketahuan. Lisa mengeluarkan kepalanya dari pintu depan, mengamat-amati sekitarnya.
"Aman," gumamnya.
"Yuk kita ke kamar saja!" ajaknya sambil menarik tanganku. Bagai kerbau dicocok hidung akupun menurut saja. Kamarnya agak berantakan. Pakaian kotor terserak di lantai.
"Buka pakaianmu," ia memerintahku dengan berbisik pelan. Tanpa disuruh untuk kedua kalinya dengan cepat kulepas semua kain di badanku. Penisku yang sudah setengah berdiri segera bergoyang-goyang.
"Hmmhh..," gumamnya sambil mengamati penisku.
Ia menarikku ke arah ranjang, berbaring dan minta bantuan untuk melepaskan celananya. Dengan segera kulepas celana dan sekaligus celana dalamnya. Sejumput rambut hitam terlihat menghiasi selangkangannya. Ketika bajunya akan kubuka ia menggeleng,"Bajunya nggak usah".
Aku mulai naik ke atas tubuhnya. Kucium dengan lembut. Kepalaku bergeser ke arah leher, dada dan menggigit payudaranya yang masih tertutup bajunya. Tangannya menyingkap bajunya ke atas dan tanganku membantu membuka kait BH-nya. Kusingkapkan cup BH-nya ke atas. Kini payudaranya yang putih mulus dihiasi urat kebiruan menyembul keluar. Segera kuterkam dan kuhujani dengan sedotan lembut dan jilatan pada ujung putingnya. Ia mendesah dan memejamkan mata menikmati jilatan lidahku pada putingnya.
Penisku dengan cepat mengeras dan kugesekkan di atas pahanya. Diambilnya bantal untuk mengganjal pantatnya. Tangannya dengan cepat menangkap penisku dan segera mengarahkannya ke bibir vaginanya. Kakinya mengangkang lebar. Dengan pelan namun pasti penisku segera saja masuk ke dalam vaginanya yang sudah licin dan basah.
"Ehmm. Untung sudah basah, kalau tidak bisa lecet punyaku," kataku berbisik menggodanya, mengingatkan pada gurauan kami dulu. Ia terkekeh pelan sehingga bibir di selangkangannyapun ikut bergerak-gerak.
"Iya, ini yang bikin gelisah. Geli dan basah," sahutnya sambil mulai menggerakkan pinggulnya.
Akupun mulai memacu hasratku berlomba dengan gairahnya. Kali ini gairahku cepat sekali naik dengan tajam. Mungkin karena sudah terlalu lama spermaku tidak diganti ditambah dengan adanya rasa takut ketahuan.
Tidak sampai lima menit tiba-tiba kurasakan aku akan sampai. Kuhentikan gerakanku.
Ia menatapku heran, "Kenapa To? Mau keluar?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Keluarin saja di dalam. Nggak apa-apa," katanya pelan. Ada sedikit nada kecewa di sana.
Tanpa ada gerakan lagi penisku segera memuntahkan cairan putih yang kental sekali. Tujuh kali aku menyemprotkan cairanku. Terasa banyak sekali sampai mengalir keluar dari vagina dan menetes di sprei. Lisa mendorongku dan segera melap penisku dengan handuk kecil di dekatnya. Spermaku yang menetes di sprei juga dilapnya setelah ia mengamati dan menyentuhkan jarinya pada cairan kental yang menempel di sprei tersebut.
"Hmmh. Pantas saja cepat tumpah, begitu banyak dan kental sekali. Selama di sini emangnya kamu tidak pernah main di ujung kampung sana?" katanya pelan.
Aku menggeleng lemah. Badanku terasa sakit namun sekaligus juga merasa ringan. Energi yang kukeluarkan kali ini rasanya seperti aku melakukannya dalam waktu satu jam.
Kupegang dan kuremas tangannya.
"Sorry Lis, aku tak mampu lagi menahannya," kataku. Kujelaskan kalau memang selama di sini aku tidak pernah menyentuh perempuan dan kali ini ditambah rasa takut ketahuan sehingga dengan cepat aku sudah menyerah. Kukecup punggung tangannya. Ia masih memperlihatkan raut muka kecewa, namun ia mengerti dengan keadaanku.
"Ya sudah, nanti lain waktu kita akan lakukan lagi. Tapi kamu harus berjanji akan memuaskanku," katanya lagi. Kukecup keningnya, dan akupun mengenakan pakaianku dan keluar dari pintu belakangnya kembali ke mess.
Pagi-pagi sekali Lisa menemuiku di teras mess.
"Minggu depan aku mau ke kota. Ada keperluan keluarga sedikit," katanya. Minggu depan? Tiba-tiba saja aku tersadar bahwa minggu depan aku juga harus ke kantor cabang di kota untuk mengambil gaji dan keperluan camp lainnya. Aku tersenyum sendiri.
"Kalau begitu kita sama-sama saja. Aku juga harus ke kota. Biasa mengambil jatah," kataku.
Ia merengut, "Jatah yang mana lagi maksudmu. Bukannya tadi malam kamu sudah ambil. Kamu masih mau main lagi dengan pelacur-pelacur di kota?"
Aku terkejut, mengapa ia jadi sensitif begini. Mungkin masih ada perasaan kecewa karena gairahnya tadi malam belum tersalurkan.
"Jangan marah-marah terus. Aku ke kota ambil gaji karyawan dan keperluan camp". Sekejap kemudian ia langsung tersenyum dan raut mukanya menjadi cerah.
"Asyik dong. Kita bisa sama-sama di kota," katanya sambil memonyongkan mulutnya.
"Tapi ketemunya di mana?" tanyanya lagi.
"Gampang saja. Nanti kamu telpon ke kantorku atau ke mess kalau malam dan kita bisa bikin janji".
"Baiknya aku mengaku siapa nanti kalau telepon ke kantor?" tanyanya lagi. Gara-gara semalam nggak puas makanya perempuan ini jadi agak telmi, aku menggerutu dalam hati.
"Bilang saja kalau kamu tanteku. Tante girang.. Gitu," jawabku asal-asalan.
"Jangan begitu," tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi tinggi.
"Sorry, sorry. Bukan itu maksudku. Bilang saja Lisa atau siapa saja nggak masalah".
Akhirnya tiba harinya aku turun ke kota. Lisa sudah berangkat kemarin dengan kapal sungai. Dari lokasi kerjaku menuju ke kota memang hanya bisa ditempuh dengan menggunakan kapal sungai. Nantinya kalau proyek yang sekarang dikerjakan perusahaanku dengan beberapa perusahaan lain telah selesai barulah tembus jalan darat ke kota.
Sesampai di kota, aku segera menyelesaikan urusan-urusanku menyangkut laporan penggunaan dana dan pengajuannya, progress report pekerjaan dan detail lainnya yang diperlukan.
Malamnya Lisa menelponku dan ia sudah booking kamar sebuah hotel kelas menengah untuk kota ini. Ia bilang akan menunggu di sana jam delapan. Jam delapan kurang lima aku sudah berada di muka pintu kamarnya. Kuketuk tiga kali dan kudengar suara kunci diputar. Lisa sudah berada di depanku dan akupun segera masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang cukup nyaman dengan pandangan ke arah bukit di kejauhan.
Ia mengenakan gaun tidur yang tipis sehingga pakaian dalam dan lekuk tubuhnya membayang jelas. Kakinya mengenakan stocking hitam. Aku duduk di tepi ranjang, sementara Lisa di belakangku berdiri di atas lututnya dan mulai menciumi tengkuk dan telingaku. Aku kegelian dan sekaligus terangsang. Aliran hangat mulai menjalar di sekujur tubuhku.
Tangannya kupegang, kuputar tubuhnya dan kutarik ke tubuhnya ke pangkuanku. Kucium bibirnya dengan ganas. Lisa meronta sebentar tapi kemudian ia membalas ciumanku dengan tidak kalah ganasnya.
"Anto.. Ah.. Ehh .. Ouhh", Ia gelagapan membalas ciumanku.
Aku terkejut ketika tangannya meremas penisku yang mulai menggembung di balik celana panjangku. Aku tersenyum sambil mencolek payudaranya.
Bersambung...
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
8615